pada tempat suci oleh tetua yang disucikan dan
dikhususkan secara adat |
Apakah Lutur Varahan Itu?
Lutur
Varahan[1]
merupakan
sebuah tradisi yang sarat makna filosofis dan masih terus dipertahankan oleh
masyarakat Tanimbar Kei[2]. Lutur Varahan memiliki makna : “batu pelindung yang terbongkar
harus disusun kembali”. Secara filosofis tradisi Lutur Varahan bertujuan menjaga keseimbangan hidup akibat masuknya
pengaruh luar melalui sistim perkawinan. Masyarakat Tanimbar Kei meyakini ketika
seorang perempuan Tanimbar Kei mengambil laki-laki di luar komunitas, maka lutur atau batu yang tersusun untuk
melindungi kampung (komunitas) akan runtuh. Runtuhnya lutur menyebabkan masuknya pengaruh luar yang dapat mengganggu
keseimbangan hidup. Untuk memulihkannya, lutur
mesti disusun kembali lewat tradisi Lutur
Varahan
Potret
Mini Tradisi Lutur Varahan[3]
Dalam tradisi lutur Varahan hewan babi dipersiapkan oleh pihak laki-laki sebagai kurban
persembahan bagi para dewa dan leluhur orang Tanimbar Kei. Jumlah hewan
kurban harus sesuai ketentuan adat dan dibawa
ke hadapan tetua yang memandu ritual persembahan. Tokoh-tokoh utama dalam ritual adalah
kaum laki-laki yang telah dikhususkan
atau disucikan secara adat, dan mampu menahan
diri dari perbuatan asusila.
Wilayah ritual dibagi berdasarkan gender.
Wilayah kaum laki-laki tidak boleh ditempati oleh kaum perempuan, begitu juga sebaliknya.
Pembagian wilayah ini berdasar atas pemahaman masyarakat bahwa dewa perempuan
dan dewa laki-laki memiliki singgasana masing-masing. Tempat bagi tetua yang
dikhususkan dalam ritual diyakini sebagai wilayah suci sehingga tidak sembarangan
orang boleh beraktivitas di sana.
Proses sembelih hewan kurban |
Kurban bagi para dewa harus lebih dahulu dibakar di atas tumpukan batu. Jika asap kurban naik lurus ke langit, maka masyarakat percaya bahwa persembahan itu telah diterima olehpara dewa dan leluhur. Kelalaian anggota komunitas memenuhi ketentuan tradisi lutur varahan, akan berdampak pada ketidakseimbangan hidup misalnya ditimpa kesialan dan malapetaka.
Lutur Varahan Dalam Perjumpaan Dengan Injil Di Tanimbar Kei
Realitas orang Tanimbar Kei menampilkan
eksistensi agama yang berbeda. Agama yang berbeda itu meyakini adanya kuasa
transendental yang dikenal dengan nama
yang berbeda pula. Dari ranah budaya juga dikenal sosok transendental yang dipercaya
menata seluruh alur hidup komunitas. Kendati begitu terdapat ruang perjumpaan
antara agama-agama di Tanimbar Kei dengan budaya lokal yang mesti dikelola
dengan bijak. Dalam ruang lingkup Kekristenan, upaya bijak mengelola perjumpaan
Injil dan budaya lokal dimaksudkan untuk menghindari sikap sinkretisme agama
dan budaya yang menyebabkan kekristenan kehilangan nilai dan karakteristiknya.
Merujuk pada beberapa substansi model-model
pekabaran Injil Gereja Protestan Maluku, GPM dan budaya lokal adalah hakekat
yang tidak bisa dilepaspisahkan begitu saja. Budaya lokal adalah identitas
warga jemaat sekaligus identitas bergereja. Hal itulah yang menginspirasi GPM
untuk memperkenalkan teologi dan eklesiologi gereja orang basudara. GPM
mengakui dirinya sebagai gereja yang bertumbuh dan terus merambat di tengah relasi orang basudara , di mana dalam narasi
orang basudara itu, budaya lokal dapat dimanfaatkan sebagai model Pekabaran Injil[4]. Mengacu pada perspektif
di atas dapat disimpulkan bahwa tradisi lutur
varahan bisa dimanfaatkan sebagai sebuah model Pekabaran Injil (PI) dalam
realitas orang Tanimbar Kei.
Lutur
Varahan berperan memfilter pengaruh buruk dan menyeimbangkan tatanan
hidup demi merawat kehidupan. Esensi ini juga menjadi fokus pemberitaan Injil
yaitu menghadirkan Syalom Allah di
tengah dunia. Syalom Allah ditandai
dengan terciptanya harmoni hidup. Harmoni hidup hanya akan terwujud jika semua
elemen saling menghargai, memberi diri untuk ditata,dirangkul dalam perbedaan,
serta tidak berat sebelah. Persepektif tersebut menjadi bentuk sederhana masyarakat
Tanimbar Kei (gereja) memaknai keberadaannya sebagai Gereja Orang Basudara.
Gereja orang basudara adalah gereja yang mesti menjadi rumah bersama dalam realitas orang Tanimbar Kei. Mengacu pada model-model teologi kontekstual, Stephen B Bevans menjelaskan bahwa gereja tidak boleh bersikap eksklusif dengan melihat budaya lokal sebagai produk kafir semata. Sebaiknya gereja mesti bersikap kritis-transformatif[5]. Menurut penulis, perspektif Bevans ini mengisyaratkan bahwa hal baik yang terkandung di dalam tradisi atau budaya lokal mesti tetap dilestarikan. Jika perlu adanya langkah transformatif untuk menghindari sinkretisme agama dan budaya, baiklah upaya itu dilakukan secara bijak dalam bingkai saling menghargai dan menghormati perbedaan. Oleh karenanya, jika berbicara tetang tradisi lutur varahan, maka tidak hanya berbicara tentang bagaimana budaya lokal orang Tanimbar Kei menyeimbangkan dan merawat harmoni hidup. Tetapi juga bagaimana Tuhan Allah menganugerahkan Injil (kabar Baik) bagi leluhur orang Tanimbar Kei, jauh sebelum Injil dikenal oleh masyarakat setempat.
[1] Model-model Pekabaran Injil Gereja
protestan Maluku, Ambon: UKIM Press, 2017, hlm 50.
[2] Bevans, B.Stephen. Model-model Teologi Kontekstual, Nusa
Tenggara Timur: Ledalero Press, 2007.
[3] Berdasarkan percakapan dengan
salah satu tokoh adat masyarakat Tanimbar Kei, Bpk. Madais Singerubun, medio
Agustus 2022.
[4]Penulisan kata Lutur Varahan dalam tulisan ini mengikuti pengucapan (lisan) dari narasumber
dan dikonfirmasi kembali sedemikian rupa. Jika ada kesalahan penulisan harap dikoreksi.
[5] Wilayah ini berada di Pulau Tanimbar Kei, sebuah pulau terluar di gugus selatan Kepulauan Kei Kecil, Kecamatan Kei Kecil Barat, Kaupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar