SELAMAT DATANG DI MEDIA ONLINE KLASIS GPM PULAU-PULAU KEI KECIL DAN KOTA TUAL

Pengunjung saat ini

Selasa, 16 Mei 2023

LUTUR VARAHAN : TRADISI MENATA HARMONI HIDUP ORANG TANIMBAR KEI

Ritual Persembahan Kurban Bagi Dewa Dan Leluhur
pada tempat suci oleh tetua yang disucikan dan dikhususkan secara adat

Apakah Lutur Varahan Itu?

Lutur Varahan[1] merupakan sebuah tradisi yang sarat makna filosofis dan masih terus dipertahankan oleh masyarakat Tanimbar Kei[2]. Lutur Varahan memiliki makna : “batu pelindung yang terbongkar harus disusun kembali”. Secara filosofis tradisi Lutur Varahan bertujuan menjaga keseimbangan hidup akibat masuknya pengaruh luar melalui sistim perkawinan. Masyarakat Tanimbar Kei meyakini ketika seorang perempuan Tanimbar Kei mengambil laki-laki di luar komunitas, maka lutur atau batu yang tersusun untuk melindungi kampung (komunitas) akan runtuh. Runtuhnya lutur menyebabkan masuknya pengaruh luar yang dapat mengganggu keseimbangan hidup. Untuk memulihkannya, lutur mesti disusun kembali lewat tradisi Lutur Varahan

Potret Mini Tradisi Lutur Varahan[3]

Dalam tradisi lutur Varahan hewan babi dipersiapkan oleh pihak laki-laki sebagai kurban persembahan bagi para dewa dan leluhur orang Tanimbar Kei. Jumlah hewan kurban  harus sesuai ketentuan adat dan dibawa ke hadapan tetua yang memandu ritual persembahan. Tokoh-tokoh  utama dalam  ritual adalah  kaum  laki-laki yang telah dikhususkan atau disucikan secara adat, dan mampu  menahan diri dari perbuatan asusila.

Wilayah ritual dibagi berdasarkan gender. Wilayah kaum laki-laki tidak boleh ditempati oleh kaum perempuan, begitu juga sebaliknya. Pembagian wilayah ini berdasar atas pemahaman masyarakat bahwa dewa perempuan dan dewa laki-laki memiliki singgasana masing-masing. Tempat bagi tetua yang dikhususkan dalam ritual diyakini sebagai wilayah suci sehingga tidak sembarangan orang boleh beraktivitas di sana.

Proses sembelih hewan kurban

Salah satu keunikan yang terpotret dalam ritual persembahan yaitu hewan kurban akan disembelih lalu dibagikan kepada semua anggota komunitas sesuai ketentuan adat. Bagian kepala hewan kurban diberikan kepada para pemimpin yaitu tokoh agama, pemimpin di ohoi yang dihargai dan dipandang bisa menyelesaikan  masalah. Bagian tubuh hewan kurban memiliki maknanya masing-masing yaitu kepala yang terdiri dari mata untuk melihat yang baik dan buruk, telinga untuk mendengar  yang baik dan buruk, mulut untuk berbicara atau memberikan arahan, otak untuk berpikir dan memutuskan yang baik dan buruk, identik dengan karakter seorang pemimpin ideal. Bagian usus yang isinya kotoran sisa makanan diberikan kepada anak-anak. Masyarakat beranggapan bahwa masa anak-anak atau masa muda adalah masa yang sering dilalui dengan cara tidak baik, ibarat kotoran dalam usus hewan.  Jantung dan anus menjadi bagian para dewa. Jantung melambangkan denyut kehidupan, identik dengan sifat dewa sebagai pemberi kehidupan. Sedangkan anus yang menjadi jalan keluar kotoran dari tubuh hewan melambangkan  sifat dewa yang menyucikan segala keburukan manusia.
Kaum perempuan sementara menyaksikan ritual persembahan kurban dari tempat khusus

Kurban bagi para dewa harus lebih dahulu dibakar di atas tumpukan batu. Jika asap kurban naik lurus ke langit, maka masyarakat percaya bahwa persembahan itu telah diterima olehpara dewa dan leluhur. Kelalaian anggota komunitas memenuhi ketentuan tradisi lutur varahan, akan berdampak pada ketidakseimbangan hidup misalnya ditimpa kesialan dan malapetaka.

 Lutur Varahan Dalam Perjumpaan Dengan Injil Di Tanimbar Kei

 
Bagian ini merupakan upaya paling sederhana mendialogkan makna tradisi lutur varahan dalam perjumpaannya dengan Injil di Tanimbar Kei.

Realitas orang Tanimbar Kei menampilkan eksistensi agama yang berbeda. Agama yang berbeda itu meyakini adanya kuasa transendental yang  dikenal dengan nama yang berbeda pula. Dari ranah budaya juga dikenal sosok transendental yang dipercaya menata seluruh alur hidup komunitas. Kendati begitu terdapat ruang perjumpaan antara agama-agama di Tanimbar Kei dengan budaya lokal yang mesti dikelola dengan bijak. Dalam ruang lingkup Kekristenan, upaya bijak mengelola perjumpaan Injil dan budaya lokal dimaksudkan untuk menghindari sikap sinkretisme agama dan budaya yang menyebabkan kekristenan kehilangan nilai dan karakteristiknya.

Merujuk pada beberapa substansi model-model pekabaran Injil Gereja Protestan Maluku, GPM dan budaya lokal adalah hakekat yang tidak bisa dilepaspisahkan begitu saja. Budaya lokal adalah identitas warga jemaat sekaligus identitas bergereja. Hal itulah yang menginspirasi GPM untuk memperkenalkan teologi dan eklesiologi gereja orang basudara. GPM mengakui dirinya sebagai gereja yang bertumbuh dan terus merambat di tengah  relasi orang basudara , di mana dalam narasi orang basudara itu, budaya lokal dapat dimanfaatkan sebagai model Pekabaran Injil[4]. Mengacu pada perspektif di atas dapat disimpulkan bahwa tradisi lutur varahan bisa dimanfaatkan sebagai sebuah model Pekabaran Injil (PI) dalam realitas orang Tanimbar Kei.

Lutur Varahan berperan memfilter pengaruh buruk dan menyeimbangkan tatanan hidup demi merawat kehidupan. Esensi ini juga menjadi fokus pemberitaan Injil yaitu menghadirkan Syalom Allah di tengah dunia. Syalom Allah ditandai dengan terciptanya harmoni hidup. Harmoni hidup hanya akan terwujud jika semua elemen saling menghargai, memberi diri untuk ditata,dirangkul dalam perbedaan, serta tidak berat sebelah. Persepektif tersebut menjadi bentuk sederhana masyarakat Tanimbar Kei (gereja) memaknai keberadaannya sebagai Gereja Orang Basudara.

Gereja orang basudara adalah gereja yang mesti menjadi rumah bersama dalam realitas orang Tanimbar Kei. Mengacu pada model-model teologi kontekstual, Stephen B Bevans menjelaskan bahwa gereja tidak boleh bersikap eksklusif dengan melihat budaya lokal sebagai produk kafir semata. Sebaiknya gereja mesti  bersikap kritis-transformatif[5]. Menurut penulis, perspektif Bevans ini mengisyaratkan bahwa hal baik yang terkandung di dalam tradisi atau budaya lokal mesti tetap dilestarikan. Jika perlu adanya langkah transformatif untuk menghindari sinkretisme agama dan budaya, baiklah upaya itu dilakukan secara bijak dalam bingkai saling menghargai dan menghormati perbedaan. Oleh karenanya, jika berbicara tetang tradisi lutur varahan, maka tidak hanya berbicara tentang bagaimana budaya lokal orang Tanimbar Kei menyeimbangkan dan merawat harmoni hidup. Tetapi juga bagaimana Tuhan Allah menganugerahkan Injil (kabar Baik) bagi leluhur orang Tanimbar Kei, jauh sebelum Injil dikenal oleh masyarakat setempat.



Penulis Ketua Majelis Jemaat GPM Tanimbar Kei Pdt. Natalia

[1] Model-model Pekabaran Injil Gereja protestan Maluku, Ambon: UKIM Press, 2017, hlm 50.

[2] Bevans, B.Stephen. Model-model Teologi Kontekstual, Nusa Tenggara Timur: Ledalero Press, 2007.

[3] Berdasarkan percakapan dengan salah satu tokoh adat masyarakat Tanimbar Kei, Bpk. Madais Singerubun, medio Agustus 2022. 

[4]Penulisan kata Lutur Varahan dalam tulisan ini mengikuti pengucapan (lisan) dari narasumber dan dikonfirmasi kembali sedemikian rupa. Jika ada kesalahan penulisan harap dikoreksi.

[5] Wilayah ini berada di Pulau Tanimbar Kei, sebuah pulau terluar di gugus selatan Kepulauan Kei Kecil, Kecamatan Kei Kecil Barat, Kaupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar